Hebat! Gadis Asal Gresik Ini Bicara tentang Peace Security di Korea Selatan
Gadis asal Gresik Diah Sulung Syafitri, seorang gadis
berusia 25 tahun menghadiri acara bergengsi di Korea Selatan yakni
Pyeongchang Global Peace Forum (PGPF) 2019. Dalam acara ini Diah yang
telah lama memiliki perhatian di bidang perdamaian dan kepemudaan juga
berbicara mengenai youth peace security, sebuah tema yang saat
ini menjadi penting ditengah banyaknya konflik dan berita hoax yang
beredar belakangan ini.Diah mendapat undangan setelah mengikuti seleksi
dan dalam acara ini ia menjadi salah satu pembicara. Tak disangka Diah
yang datang mewakili Global Peace Youth Indonesia (GPYI) ini ternyata
adalah perwakilan termuda dari 5 delegasi lainnya.
“Saya kaget karena saya pikir yang ikut seumuran dengan saya,
ternyata banyak yang lebih berpengalaman dan umurnya pun terpaut jauh
dengan saya,” ungkap Diah.
Dirinya berbicara di salah satu sesi tentang Youth, Peace, Security UNSCR 2250 Progress yang mana dalam materinya ia menyampaikan perihal kegiatan volunteering sebagai salah satu cara menghadapi pengangguran di Indonesia.
“Berdasarkan data bapenas, total populasi Indonesia mencapai 260 juta sedangkan 67% nya adalah anak muda usia produktif. Pada proyeksi tahun 2030, 72% populasi Indonesia diisi oleh anak muda, sayangnya 6,7% dari 67% itu adalah pengangguran. Indonesia sendiri kini menghadapi konflik yang dipicu oleh isu keberagaman yang mana ada rasa superior dari mayoritas yang kebanyakan menguasai lapangan pekerjaan. Isu pengangguran anak muda jelas menjadi ancaman yang mengusik konsep keamanan nasional karena persaingan dalam memasuki dunia kerja jadi faktor dominan. Sedangkan saat ini disparitas keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) antara anak muda yang berpendidikan atau bersekolah di kota besar masih jauh dibanding anak muda yang ada dikampung padahal tidak semua anak muda Indonesia pergi sekolah ke kota. Hal ini menjadikan hak anak muda yang tinggal di kota-kota kecil dan pelosok desa untuk menikmati kesempatan yang sama dengan yang tinggal di kota besar sehingga kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan menjadi timpang”, terangnya kepada GNFI.
Gadis berprestasi ini juga berpendapat bahwa konsep perdamaian dalam era milenial ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ‘absence of war’ atau konflik fisik langsung, namun juga tentang perdamaian, hak asasi manusia maupun hak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana diatur oleh UUD.
Menyambung perihal materinya, Diah memiliki pandangan juga mengenai bonus demografi yang digadang-gadang sebagai keuntungan Indonesia pada 100 tahun Indonesia merdeka.
“Dalam konflik, anak muda bisa jadi korban tapi bisa juga jadi agen of peace (AoP). Aku mengetengahkan peran anak muda yg sering dilupakan orang. Padahal, apalagi disambungin sama konteks indonesia, dengan kondisi bonus demografi saat ini, anak muda harusnya didorong untuk jadi pemimpin bermoral dan penuh inovasi”, tuturnya.
Dalam pandangan gadis kelahiran 7 Februari 1994 ini, edukasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi sebagai kunci melawan pengangguran anak muda. Banyak anak muda yang kaya ide, bemoral dan penuh inovasi, masalahnya hanyalah bagaimana mengeluarkan ide dan potensi mereka.
“Akses pendidikan baik formal maupun vokasional secara merata dapat membantu pengurangan pengangguran. Anak muda di desa pun harus memiliki akses pendidikan seperti pelatihan-pelatihan bahasa maupun kewirausahaan sehingga mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan menggerakan roda ekonomi desa sesuai bidang mereka masing-masing”, kata Diah
Ketika di Korea Selatan, ia pun mendapat ilmu dan perspektif lain yakni tentang bagaimana pemerintah, organisasi masyarakat dan stakeholder lainnya harus berperan untuk meningkatkan peran anak muda di isu perdamaian dan pembangunan. Anak muda merupakan salah satu kunci pembangunan yang harus dipercaya oleh instansi-instansi daerah dalam melakukan pembangunan.
Diah pun memiliki gerakannya sendiri yaitu Grissie (Gresik Rising in Education), membuka kelas bahasa inggris gratis buat anak muda dan masyarakat umum di Gresik dengan harapan mampu meningkatkan skill anak muda gresik. Disitu pun terdapat pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan diskusi isu-isu global setiap hari minggu.
“Kita tidak sedang membangun candi yang semalam jadi. Kita sedang membangun pondasi bangsa yang sangat penting yaitu putra putri terbaik bangsa yang bermoral dalam agenda pembangunan nasional 10 hingga 30 tahun kedepan. Saya membayangkan puncak bonus demografi itu keadaannya orang sibuk bekerja dan berkarya, bukannya ribut konflik-konflik yang tidak penting dan malah bisa memecah-belah negara. Membangun pondasi bangsa itu tidak dilakukan nanti, tetapi mulai dari sekarang”, ujar gadis berprestasi ini.
Lulusan Universitas Muhammadiyah Yogykarta ini sebelumnya memiliki prestasi yang luar biasa, diantaranya adalah Duta Sustainable Development Goals (SDG’s) dari United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2017, alumni Young South East Asia Leaders Initiative (YSEALI)
pada tahun 2016 dan juga anggota Global Peace Foundation. Selain itu, Diah Sulung juga pernah masuk dalam nominasi N-Peace award dari UNDP kategori Peace Generation di tahun 2018.
Sumber: https://www.kabarrantau.com/hebat-gadis-asal-gresik-ini-bicara-tentang-peace-security-di-korea-selatan/
Dirinya berbicara di salah satu sesi tentang Youth, Peace, Security UNSCR 2250 Progress yang mana dalam materinya ia menyampaikan perihal kegiatan volunteering sebagai salah satu cara menghadapi pengangguran di Indonesia.
“Berdasarkan data bapenas, total populasi Indonesia mencapai 260 juta sedangkan 67% nya adalah anak muda usia produktif. Pada proyeksi tahun 2030, 72% populasi Indonesia diisi oleh anak muda, sayangnya 6,7% dari 67% itu adalah pengangguran. Indonesia sendiri kini menghadapi konflik yang dipicu oleh isu keberagaman yang mana ada rasa superior dari mayoritas yang kebanyakan menguasai lapangan pekerjaan. Isu pengangguran anak muda jelas menjadi ancaman yang mengusik konsep keamanan nasional karena persaingan dalam memasuki dunia kerja jadi faktor dominan. Sedangkan saat ini disparitas keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) antara anak muda yang berpendidikan atau bersekolah di kota besar masih jauh dibanding anak muda yang ada dikampung padahal tidak semua anak muda Indonesia pergi sekolah ke kota. Hal ini menjadikan hak anak muda yang tinggal di kota-kota kecil dan pelosok desa untuk menikmati kesempatan yang sama dengan yang tinggal di kota besar sehingga kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan menjadi timpang”, terangnya kepada GNFI.
Gadis berprestasi ini juga berpendapat bahwa konsep perdamaian dalam era milenial ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ‘absence of war’ atau konflik fisik langsung, namun juga tentang perdamaian, hak asasi manusia maupun hak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana diatur oleh UUD.
Menyambung perihal materinya, Diah memiliki pandangan juga mengenai bonus demografi yang digadang-gadang sebagai keuntungan Indonesia pada 100 tahun Indonesia merdeka.
“Dalam konflik, anak muda bisa jadi korban tapi bisa juga jadi agen of peace (AoP). Aku mengetengahkan peran anak muda yg sering dilupakan orang. Padahal, apalagi disambungin sama konteks indonesia, dengan kondisi bonus demografi saat ini, anak muda harusnya didorong untuk jadi pemimpin bermoral dan penuh inovasi”, tuturnya.
Dalam pandangan gadis kelahiran 7 Februari 1994 ini, edukasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi sebagai kunci melawan pengangguran anak muda. Banyak anak muda yang kaya ide, bemoral dan penuh inovasi, masalahnya hanyalah bagaimana mengeluarkan ide dan potensi mereka.
“Akses pendidikan baik formal maupun vokasional secara merata dapat membantu pengurangan pengangguran. Anak muda di desa pun harus memiliki akses pendidikan seperti pelatihan-pelatihan bahasa maupun kewirausahaan sehingga mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan menggerakan roda ekonomi desa sesuai bidang mereka masing-masing”, kata Diah
Ketika di Korea Selatan, ia pun mendapat ilmu dan perspektif lain yakni tentang bagaimana pemerintah, organisasi masyarakat dan stakeholder lainnya harus berperan untuk meningkatkan peran anak muda di isu perdamaian dan pembangunan. Anak muda merupakan salah satu kunci pembangunan yang harus dipercaya oleh instansi-instansi daerah dalam melakukan pembangunan.
Diah pun memiliki gerakannya sendiri yaitu Grissie (Gresik Rising in Education), membuka kelas bahasa inggris gratis buat anak muda dan masyarakat umum di Gresik dengan harapan mampu meningkatkan skill anak muda gresik. Disitu pun terdapat pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan diskusi isu-isu global setiap hari minggu.
“Kita tidak sedang membangun candi yang semalam jadi. Kita sedang membangun pondasi bangsa yang sangat penting yaitu putra putri terbaik bangsa yang bermoral dalam agenda pembangunan nasional 10 hingga 30 tahun kedepan. Saya membayangkan puncak bonus demografi itu keadaannya orang sibuk bekerja dan berkarya, bukannya ribut konflik-konflik yang tidak penting dan malah bisa memecah-belah negara. Membangun pondasi bangsa itu tidak dilakukan nanti, tetapi mulai dari sekarang”, ujar gadis berprestasi ini.
Lulusan Universitas Muhammadiyah Yogykarta ini sebelumnya memiliki prestasi yang luar biasa, diantaranya adalah Duta Sustainable Development Goals (SDG’s) dari United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2017, alumni Young South East Asia Leaders Initiative (YSEALI)
pada tahun 2016 dan juga anggota Global Peace Foundation. Selain itu, Diah Sulung juga pernah masuk dalam nominasi N-Peace award dari UNDP kategori Peace Generation di tahun 2018.
Sumber: https://www.kabarrantau.com/hebat-gadis-asal-gresik-ini-bicara-tentang-peace-security-di-korea-selatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar